Visi Kota Balikpapan
Terwujudnya Balikpapan sebagai kota industri, perdagangan, jasa dan pariwisata yang didukung oleh penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (Good Governance) dan masyarakat yang beriman, sejahtera, religius dan berperadapan maju (Madinatul Iman)
Misi Kota Balikpapan
- Mewujudkan sumber daya manusia yang beriman, sehat jasmani dan memiliki daya saing dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Meujudkan tersedianya infrastruktur kota yang mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan fungsi kota di masa depan.
- Mewujudkan kondisi kota yang layak huni dan berwawasan lingkungan.
- Mewujudkan perekonomian kota yang berorientasi kepada pengembangan potensi ekonomi kerakyatan dan pengembangan basis ekonomi kota di masa depan.
- Mewujudkan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (Good Governance)
- Mewujudkan penegakan hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Motto Kota Balikpapan
Balikpapan Beriman (Bersih, Indah, Aman & Nyaman).
Balikpapan Kubangun, Kujaga & Kubela.
Balikpapan Kota Madinatul Iman.
Balikpapan Clean, Green & Healthy City.
Ciri dari pelaksanaan good governance serta masyarakat yang madani itu adalah pemerintahan yang baik, bersih dan profesional yang menerapkan prinsip akuntabilitas, transparansi, keikutsertaan publik serta penegakan hukum.
Balikpapan Madinatul Iman (BMI), cirinya adalah masyarakat majemuk yang hidup harmonis, rukun, berperadaban moderen, maju dan sejahtera serta memiliki nilai moralitas dan spiritual yang tinggai berdasarkan keyakinan masing-masing.
salah satu point dari Madinatul Iman yaitu terciptanya masyarakat Madani yang penuh toleransi dan keimanan.
Rasulullah membangun kota Madinah
Nilai-nilai peradaban hijrah. Nilai-nilai inilah yang ditanamkan Rasulullah
Muhammad ketika membangun Kota Madinah. Menurut Nurcholish Madjid (1992), Madinah bermakna ganda: kota dan peradaban kota.
Rasulullah membangun Kota Madinah di atas 3 (tiga) fondasi peradaban hijrah.
Pertama, keterbukaan dan integrasi sosial. Rasulullah berusaha mempersatukan empat kelompok. Muslim dari suku-suku Madinah dan Makkah, Muslim imigran (muhajirin) dengan penduduk asli (anshar), dan antara Muslim dengan non-Muslim. Usaha ini tidak mudah karena masing-masing kelompok memiliki sejarah permusuhan yang turun temurun.
Kedua, ikatan kewargaan dan pengakuan atas pluralitas. Dalam konteks ini, Rasulullah membuat Piagam Madinah sebagai konstitusi ’’negara’’. Di dalamnya eksistensi semua kelompok diakui sepenuhnya dengan sebutan ’’ummat’’. Karena itu tidak ada satu pun yang terekslusi atau termarginalisasi. Piagam Madinah mengikat semua kelompok sebagai ’’warga negara’’. Meskipun berbeda-beda agama, suku dan asal-usul, setiap individu dan kelompok bertanggung jawab memelihara persatuan, kerukunan, dan keamanan Madinah.
Ketiga, saling menghormati dan mematuhi hukum yang berlaku. Peradaban hijrah dibangun di atas fondasi hukum dan kesadaran untuk mematuhi dan memegang teguh hukum. Siapa pun yang melanggar hukum akan ditindak. Di dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullah mengusir sebagian orang Yahudi. Pengusiran ini bukan disebabkan oleh sentimen agama, tetapi karena mereka memecah belah masyarakat dan mengkhianati hukum. Suatu ketika terjadi perselisihan antara seorang Muslim dengan Yahudi. Karena track record orang-orang Yahudi yang buruk, Rasulullah cenderung membela Muslim. Dalam kondisi demikian, Allah mengingatkan Rasulullah agar senantiasa berlaku adil, termasuk kepada orang-orang Yahudi.
Nilai-nilai peradaban hijrah ini sangat diperlukan dalam masyarakat pluralistik yang semakin terbuka. Semoga semangat hijrah menjadi ruh yang menggerakkan kita membangun peradaban hijrah: keterbukaan, persaudaraan, dan keadilan. Tanpa nilai-nilai tersebut, peringatan tahun baru tidak lebih dari sekadar mengganti kalender untuk menuliskan kembali catatan kebencian dan caci maki kepada orang lain
Islam adalah rahmat bagi seluruh umat manusia.
Allah swt berfirman:
وَ مَا أَرْسلْنَك إِلا رَحْمَةً لِّلْعَلَمِينَ
“Tidaklah Aku mengutusmu ( Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’/21: 107)
Sebenarnya kata “Rahmat” sangat luas makna dan kaitannya dengan aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an mengkaitkan kata “Rahmat”, misalnya dengan hidayah, keberkahan, shalawat, karunia (fadhilah), maghfirah, sakinah dan mawaddah, serta lainnya.
Rahmat, kasih sayang pada seluruh manusia adalah tujuan dari misi Rasulullah saw. Tujuan ini tak akan pernah tercapai sekiranya misi ini dipisahkan diri Rasulullah saw. Jika hanya mengambil konsepnya saja dan tidak menneladani beliau, tentu hal ini suatu yang mustahil mencapai tujuan seperti yang dicapai oleh Rasulullah saw.
Jumat, 18 Desember 2009
TOLERANSI AGAMA DENGAN BERKACA KEPADA PIAGAM MADINAH
Oleh: Marhadi Muhayar, Lc., M.A
Toleransi umat beragama melalui bingkai yang Rasulullah Saw tawarkan 14 abad lalu, yaitu Piagam Madinah.
Fenomena ini tentunya, merupakan tantangan bagi para cendekia kita untuk segera merumuskan cetak biru toleransi beragama di Indonesia, sekaligus tanggungjawab para ulama untuk memahamkan umatnya akan hakikat toleransi sesuai ajaran agama Islam. Sehingga, hubungan intern dan ekstern antarumat beragama yang lebih baik dapat segera wujud, bukan lagi hanya dalam awang-awang, keinginan dan teori semata, melainkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Konsep Toleransi dalam Islam
Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut at-tasâmuh sesungguhnya merupakan salah satu inti ajaran Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih-sayang (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah 'âlamiah), dan keadilan ('adl).
Sebagai suatu ajaran fundamental atau asasi, konsep toleransi telah banyak ditegaskan dalam Alquran. Di antaranya sebagaimana yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 256, Allah Swt berfirman:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. (البقرة: 256)
“Tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut (tuhan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, lagi maha mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256)
Kebebasan untuk memilih agama dalam ayat ini mengandung maksud, bahwa memeluk agama Islam tidak menghendaki adanya paksaan, melainkan melalui kesadaran dan keinginan pribadi yang bersangkutan. Bagi mereka yang berkenan, dipersilahkan, bagi yang tidak, adalah hak mereka sendiri untuk menolak dengan sepenuh hati. Bahkan ketika ayat ini menggunakan kalimat negatif yang dalam tata bahasa Arab dikenal dengan “lâ nâfiah”, maka ayat ini dapat diartikan sebagai larangan keras bagi kaum muslimin untuk memaksakan ajaran Islam kepada pemeluk agama lain. Namun sebagai konsekuensinya, seseorang yang telah menjatuhkan pilihannya kepada agama Islam, sudah seharunya konsisten di dalam menjalankan ajaran agamanya secara baik dan benar. Inilah bentuk toleransi agama yang begitu nyata yang ditegaskan oleh Islam.
Sama halnya dengan Surat Al-Kafirun ayat 1-6:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ . (الكافرون: 1-6)
“Katakanlah (hai Muhammad): "Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak menyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Karena untukmulah agamu, dan untukkulah agamaku”
Melalui ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan dalam upacara peribadadatan agama lain, karena ajaran Islam mempunyai batasan-batasan tertentu dalam beribadah dan berkeyakinan. Namun tidak juga memaksakan ajaran Islam kepada mereka, karena "bagi mereka (orang kafir) agama mereka, bagiku (orang Islam) agamaku". Nampak di sini adanya keseimbangan, antara tidak turut campur dalam urusan ibadah agama masing-masing dan tidak memaksakan agama kepada mereka.
Begitu kuatnya penegasan Islam akan toleransi beragama, Surat Al-Mumtahanah ayat 8 menjelaskan tentang tidak adanya larangan bagi orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan menolong orang-orang non-Islam. Allah Swt berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Melalui ayat ini, Alquran berpandangan, bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antarsesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa, bahwa Tuhan menciptakan planet bumi ini tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (lita'ârafû).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ. (الحجرات: 13)
“Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbilang bangsa dan suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian”. (QS. Al Hujurat: 13).
Lagi pun, bukankah Rasulullah Muhammad Saw diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam?
Walhasil, sungguh tidak beralasan bagi seorang muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena dia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (al-âkhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Dengan kata lain, pemaksaan dalam perkara agama --di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka-- juga berlawanan dengan ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dala surat al-Baqarah ayat 256 tadi: "Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan". Bahkan, Nabi Saw pernah mendapat teguran dari Allah Swt, yang terekam dalam Surat Yunus ayat 99:
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ.
"Kalau Tuhanmu mau, tentulah semua orang yang ada di muka bumi ini telah beriman, maka apakah kamu (wahai Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"
Menjadi hak setiap orang tentunya untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Karena hal itu merupakan masalah pribadi, tidak banyak gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak dibarengi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak serius, dan bohong.
Tidak adanya izin teologis dari sang Maha Pencipta untuk melakukan pemaksaan dalam urusan agama ini menjadi maklum, karena Tuhan telah meposisikan manusia sebagai makhluk berakal yang mampu untuk membedakan dan memilih agama yang diyakini dapat mengantarkan dirinya menuju gerbang kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah sendiri telah berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقًا (الكهف: 29)
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman silahkan beriman dan barangsiapa yang ingin kafir silahkan juga ia kafir. Sesungguhnya kami telah menyediakan untuk orang-orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, mereka akan diberi minum dengan air yang seperti besi mendidih menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
Di sini saya hanya ingin mengatakan sesuai kaidah tadi, bahwa tujuan (ghâyâh) dalam Islam yang merupakan sesuatu yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar adalah menjadikan agama ini sebagai “rahmatan lil ‘âlamîn”. Sebagaimana Allah Swt berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ (الأنبياء: 107)
Karenanya, marilah kita wujudkan Islam yang rahmat bagi semua, melalui toleransi umat beragama sebagai sebuah sarana (washîlah), apalagi ketika Islam telah mempunyai konsep yang jelas, mudah, aplikatif, rasional dan telah terbukti oleh sejarah, bahkan sebagai sebuah ajaran yang qath’iy yang mesti dijalankan.
Toleransi Merujuk Piagam Madinah
Di dalam sejarah Islam dikenal sebuah dokumen maha penting dan strategis, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan, karena berkaitan dengan HAM dan toleransi antar umat beragama.
Piagam Madinah yang lahir 14 abad lalu merupakan sebuah dokumen kesepakatan lintas agama dan ras yang diprakarsai oleh Rasulullah Saw dalam mengatur kehidupan beragama dan bermasyarakat di Madinah, berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan. Baik bagi penduduk asli maupun pendatang yang berasal dari berbagai daerah di semenanjung Arab Saudi, utamanya Mekah, Madinah, dan kota-kota sekitarnya.
Pencerahan yang diprakarsai Rasulullah Saw ini menjadikan kota Madinah dikenal sebagai Madînat `ul Munawwarah atau kota yang bercahaya. Seorang orientalis Barat bernama Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief terbitan tahun 1976, pada halaman 150-151, mengatakan: “suatu masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern (bahkan terlalu modern)... Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti pernah dirintis Nabi Saw".
Adapun inti dari piagam madinah berisi tentang, pertama: pengakuan kaum muslimin tentang segmen masyarakat Madinah yang plural, namun merupakan satu kesatuan yang disebut ummat.
Kedua, hubungan anggota masyarakat antara yang beragama Islam dan non-Islam didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, menasehati dan menghormati kebebasan beragama.
Ketiga, mekanisme penegakkan hal-hal yang baik, seperti melindungi harta dan jiwa, sistem keamanan, musyawarah, penegakkan hukum, keadilan, dan menghadapi bahaya
Keempat, segala persoalan akan diselesaikan secara musyawarah dan jika terjadi perselisihan antarkabilah yang tidak dapat diselesaikan, akan diserahkan pada kebijakan Nabi Muhammad SAW. Sebab kejujurannyalah, orang Yahudi dan Nasrani mengakui kemampuan Nabi dalam menyelesaikannya secara arif dan bijaksana, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
Secara lebih jelasnya, toleransi beragama dalam Piagam Madinah disinggung pada pasal 25 yang bunyinya: "Kaum Yahudi dari Banu Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum mukminin agama mereka. (kebebasan ini berlaku) Juga bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berbuat kezhaliman dan kejahatan, merusak diri dan keluarga mereka”.
Komitmen Islam terhadap pluralitas dan toleransi dengan tegas disebutkan pada pasal 25 ini: "Kaum Yahudi bebas menjalankan agama mereka sebagai mana umat Islam bebas menjalankan agama mereka".
Dalam pasal 25 ini sangat jelas, bahwa agama tidak menjadi pemisah dan penghalang untuk dapat hidup berdampingan dalam sebuah negara. Kaum Yahudi dan Musyrikin tidak ditempatkan di lokasi yang diperangi (dar al-harb) dan kaum muslimin di lokasi aman (dar al-Islam). Tapi mereka hidup di satu tempat sebagai satu umat. Satu dengan yang lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan, hidup dengan penuh kedamaian (musâlamah). Tidak dikenal istilah warga kelas satu atau kelas dua, hanya karena perbedaan agama. Kebebasan di sini bukan saja agama tetapi juga mencakup kebebasan berfikir, berpendapat dan berkumpul.
Kebebasan beragama ini benar-benar diterapkan Nabi saw. Beliau melarang sahabat Hushayn dari Banu Salim Ibn 'Auf yang memaksa kedua anaknya yang Nasrani agar memeluk Islam, karena Nabi melihat bahwa beragama adalah hak setiap manusia. Begitu juga ketika Kabilah Aus memaksa anak-anaknya yang beragama Yahudi untuk masuk agama Islam dan segera bergabung dengan pasukan Rasulullah, beliau pun melarangnya. Karena memeluk suatu agama atau keyakinan adalah hak asasi manusia, selain efek dari keterpaksaan malah akan menimbulkan kebencian dan tidak melahirkan keyakinan yang mantap bagi pemeluk bersangkutan
Begitu besarnya perhatian Nabi kepada kaum non-muslim semisal Yahudi dan Nasrani, sampai-sampai beliau pernah mengingatkan umatnya agar tidak memusuhi mereka. Sebab keselamatan dan keamanan mereka menjadi tanggung jawab Rasulullah. Sampai-sampai Nabi Saw pernah bersabda: "Siapa yang memusuhi orang kafir dzimmi, berarti akulah lawannya, dan siapa yang aku telah menjadi lawannya, kelak di hari kiamat akulah lawannya.''
Di bidang hukum orang-orang non-Islam sebagai golongan minoritas memiliki kedudukan hukum yang sama dengan umat Islam, tidak ada diskriminasi, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Mereka bagian dari penduduk sipil, tidak boleh diganggu dan harus dilindungi.
Dalam hal kewajiban dan upaya mempertahankan masyarakat Madinah dari serangan pihak luar, golongan minoritas nonmuslim dibebani tugas yang sama, kecuali alasan tertentu mereka dibolehkan dengan syarat membayar pajak perlindungan. Demikian juga hak-hak mereka yang lain, seperti jiwa, harta, keluarga, fasilitas peribadatan dan jabatan keagamaan. Seperti pendeta dan rahib tetap dilindungi dan tidak boleh diambil alih atau diisi orang lain atau orang Islam.
Melalui Piagam Madinah ini kita mengetahui, bahwa telah hadir 14 abad yang lalu suatu masyarakat maju (civil society) atas dasar wawasan kebebasan beragama, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan antarsesama warga, yang terdiri atas berbagai suku, ras dan agama.
Dalam konteks kini, Piagam Madinah dapat kita aktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita, Indonesia. Piagam Madinah menjadi sangat penting artinya untuk dipahami sehubungan dengan munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama dan ras yang tidak kunjung usai hingga saat ini.
Bercermin dari Piagam Madinah dan konsep Islam dalam bertoleransi, hendaknya setiap dari kita harus menyadari, bahwa Islam memerintahkan kepada umatnya untuk saling tenggang rasa dan toleransi dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Allah Swt sengaja menciptakan manusia berbilang bangsa dan suku hanya untuk menguji, mampukah manusia untuk hidup rukun dan damai penuh kasih sayang di dalam mencari kebenaran di sisinya.
Akhir-akhir ini, kebanggaan toleransi yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia telah luluh lantak oleh sederetan kekerasan, yang diakui atau tidak, sangat kental beraroma agama. Bagaimana tidak, pada tataran realitas, para pelaku tindak kekerasan yang sekaligus penganut agama kerap membakar tempat-tempat ibadah, seperti mesjid dan gereja. Ribuan nyawa telah melayang akibat konflik-konflik agama semacam ini.
Karena itu, perlu ada kemauan dan kebulatan tekad bersama untuk menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan dan krisis multidimensial, akibat pemahaman agama yang minim. Bukan hanya dari kita sebagai warga muslim, tetapi juga dari mereka kalangan non-muslim. Sebab jika hanya di mulai dari satu sisi, bagai orang bertepuk sebelah tangan. Semua pihak hendaknya mau menyadari dan urun rembuk demi masalah yang lebih besar dan asasi.
Diposkan oleh Marhadi Muhayar, Lc., M.A. (Silahkan menukil dengan menyebut sumbernya)
Toleransi umat beragama melalui bingkai yang Rasulullah Saw tawarkan 14 abad lalu, yaitu Piagam Madinah.
Fenomena ini tentunya, merupakan tantangan bagi para cendekia kita untuk segera merumuskan cetak biru toleransi beragama di Indonesia, sekaligus tanggungjawab para ulama untuk memahamkan umatnya akan hakikat toleransi sesuai ajaran agama Islam. Sehingga, hubungan intern dan ekstern antarumat beragama yang lebih baik dapat segera wujud, bukan lagi hanya dalam awang-awang, keinginan dan teori semata, melainkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Konsep Toleransi dalam Islam
Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut at-tasâmuh sesungguhnya merupakan salah satu inti ajaran Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih-sayang (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah 'âlamiah), dan keadilan ('adl).
Sebagai suatu ajaran fundamental atau asasi, konsep toleransi telah banyak ditegaskan dalam Alquran. Di antaranya sebagaimana yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 256, Allah Swt berfirman:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. (البقرة: 256)
“Tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut (tuhan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, lagi maha mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256)
Kebebasan untuk memilih agama dalam ayat ini mengandung maksud, bahwa memeluk agama Islam tidak menghendaki adanya paksaan, melainkan melalui kesadaran dan keinginan pribadi yang bersangkutan. Bagi mereka yang berkenan, dipersilahkan, bagi yang tidak, adalah hak mereka sendiri untuk menolak dengan sepenuh hati. Bahkan ketika ayat ini menggunakan kalimat negatif yang dalam tata bahasa Arab dikenal dengan “lâ nâfiah”, maka ayat ini dapat diartikan sebagai larangan keras bagi kaum muslimin untuk memaksakan ajaran Islam kepada pemeluk agama lain. Namun sebagai konsekuensinya, seseorang yang telah menjatuhkan pilihannya kepada agama Islam, sudah seharunya konsisten di dalam menjalankan ajaran agamanya secara baik dan benar. Inilah bentuk toleransi agama yang begitu nyata yang ditegaskan oleh Islam.
Sama halnya dengan Surat Al-Kafirun ayat 1-6:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ . (الكافرون: 1-6)
“Katakanlah (hai Muhammad): "Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak menyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Karena untukmulah agamu, dan untukkulah agamaku”
Melalui ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan dalam upacara peribadadatan agama lain, karena ajaran Islam mempunyai batasan-batasan tertentu dalam beribadah dan berkeyakinan. Namun tidak juga memaksakan ajaran Islam kepada mereka, karena "bagi mereka (orang kafir) agama mereka, bagiku (orang Islam) agamaku". Nampak di sini adanya keseimbangan, antara tidak turut campur dalam urusan ibadah agama masing-masing dan tidak memaksakan agama kepada mereka.
Begitu kuatnya penegasan Islam akan toleransi beragama, Surat Al-Mumtahanah ayat 8 menjelaskan tentang tidak adanya larangan bagi orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan menolong orang-orang non-Islam. Allah Swt berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Melalui ayat ini, Alquran berpandangan, bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antarsesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa, bahwa Tuhan menciptakan planet bumi ini tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (lita'ârafû).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ. (الحجرات: 13)
“Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbilang bangsa dan suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian”. (QS. Al Hujurat: 13).
Lagi pun, bukankah Rasulullah Muhammad Saw diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam?
Walhasil, sungguh tidak beralasan bagi seorang muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena dia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (al-âkhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Dengan kata lain, pemaksaan dalam perkara agama --di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka-- juga berlawanan dengan ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dala surat al-Baqarah ayat 256 tadi: "Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan". Bahkan, Nabi Saw pernah mendapat teguran dari Allah Swt, yang terekam dalam Surat Yunus ayat 99:
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ.
"Kalau Tuhanmu mau, tentulah semua orang yang ada di muka bumi ini telah beriman, maka apakah kamu (wahai Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"
Menjadi hak setiap orang tentunya untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Karena hal itu merupakan masalah pribadi, tidak banyak gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak dibarengi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak serius, dan bohong.
Tidak adanya izin teologis dari sang Maha Pencipta untuk melakukan pemaksaan dalam urusan agama ini menjadi maklum, karena Tuhan telah meposisikan manusia sebagai makhluk berakal yang mampu untuk membedakan dan memilih agama yang diyakini dapat mengantarkan dirinya menuju gerbang kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah sendiri telah berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقًا (الكهف: 29)
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman silahkan beriman dan barangsiapa yang ingin kafir silahkan juga ia kafir. Sesungguhnya kami telah menyediakan untuk orang-orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, mereka akan diberi minum dengan air yang seperti besi mendidih menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
Di sini saya hanya ingin mengatakan sesuai kaidah tadi, bahwa tujuan (ghâyâh) dalam Islam yang merupakan sesuatu yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar adalah menjadikan agama ini sebagai “rahmatan lil ‘âlamîn”. Sebagaimana Allah Swt berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ (الأنبياء: 107)
Karenanya, marilah kita wujudkan Islam yang rahmat bagi semua, melalui toleransi umat beragama sebagai sebuah sarana (washîlah), apalagi ketika Islam telah mempunyai konsep yang jelas, mudah, aplikatif, rasional dan telah terbukti oleh sejarah, bahkan sebagai sebuah ajaran yang qath’iy yang mesti dijalankan.
Toleransi Merujuk Piagam Madinah
Di dalam sejarah Islam dikenal sebuah dokumen maha penting dan strategis, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan, karena berkaitan dengan HAM dan toleransi antar umat beragama.
Piagam Madinah yang lahir 14 abad lalu merupakan sebuah dokumen kesepakatan lintas agama dan ras yang diprakarsai oleh Rasulullah Saw dalam mengatur kehidupan beragama dan bermasyarakat di Madinah, berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan. Baik bagi penduduk asli maupun pendatang yang berasal dari berbagai daerah di semenanjung Arab Saudi, utamanya Mekah, Madinah, dan kota-kota sekitarnya.
Pencerahan yang diprakarsai Rasulullah Saw ini menjadikan kota Madinah dikenal sebagai Madînat `ul Munawwarah atau kota yang bercahaya. Seorang orientalis Barat bernama Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief terbitan tahun 1976, pada halaman 150-151, mengatakan: “suatu masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern (bahkan terlalu modern)... Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti pernah dirintis Nabi Saw".
Adapun inti dari piagam madinah berisi tentang, pertama: pengakuan kaum muslimin tentang segmen masyarakat Madinah yang plural, namun merupakan satu kesatuan yang disebut ummat.
Kedua, hubungan anggota masyarakat antara yang beragama Islam dan non-Islam didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, menasehati dan menghormati kebebasan beragama.
Ketiga, mekanisme penegakkan hal-hal yang baik, seperti melindungi harta dan jiwa, sistem keamanan, musyawarah, penegakkan hukum, keadilan, dan menghadapi bahaya
Keempat, segala persoalan akan diselesaikan secara musyawarah dan jika terjadi perselisihan antarkabilah yang tidak dapat diselesaikan, akan diserahkan pada kebijakan Nabi Muhammad SAW. Sebab kejujurannyalah, orang Yahudi dan Nasrani mengakui kemampuan Nabi dalam menyelesaikannya secara arif dan bijaksana, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
Secara lebih jelasnya, toleransi beragama dalam Piagam Madinah disinggung pada pasal 25 yang bunyinya: "Kaum Yahudi dari Banu Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum mukminin agama mereka. (kebebasan ini berlaku) Juga bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berbuat kezhaliman dan kejahatan, merusak diri dan keluarga mereka”.
Komitmen Islam terhadap pluralitas dan toleransi dengan tegas disebutkan pada pasal 25 ini: "Kaum Yahudi bebas menjalankan agama mereka sebagai mana umat Islam bebas menjalankan agama mereka".
Dalam pasal 25 ini sangat jelas, bahwa agama tidak menjadi pemisah dan penghalang untuk dapat hidup berdampingan dalam sebuah negara. Kaum Yahudi dan Musyrikin tidak ditempatkan di lokasi yang diperangi (dar al-harb) dan kaum muslimin di lokasi aman (dar al-Islam). Tapi mereka hidup di satu tempat sebagai satu umat. Satu dengan yang lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan, hidup dengan penuh kedamaian (musâlamah). Tidak dikenal istilah warga kelas satu atau kelas dua, hanya karena perbedaan agama. Kebebasan di sini bukan saja agama tetapi juga mencakup kebebasan berfikir, berpendapat dan berkumpul.
Kebebasan beragama ini benar-benar diterapkan Nabi saw. Beliau melarang sahabat Hushayn dari Banu Salim Ibn 'Auf yang memaksa kedua anaknya yang Nasrani agar memeluk Islam, karena Nabi melihat bahwa beragama adalah hak setiap manusia. Begitu juga ketika Kabilah Aus memaksa anak-anaknya yang beragama Yahudi untuk masuk agama Islam dan segera bergabung dengan pasukan Rasulullah, beliau pun melarangnya. Karena memeluk suatu agama atau keyakinan adalah hak asasi manusia, selain efek dari keterpaksaan malah akan menimbulkan kebencian dan tidak melahirkan keyakinan yang mantap bagi pemeluk bersangkutan
Begitu besarnya perhatian Nabi kepada kaum non-muslim semisal Yahudi dan Nasrani, sampai-sampai beliau pernah mengingatkan umatnya agar tidak memusuhi mereka. Sebab keselamatan dan keamanan mereka menjadi tanggung jawab Rasulullah. Sampai-sampai Nabi Saw pernah bersabda: "Siapa yang memusuhi orang kafir dzimmi, berarti akulah lawannya, dan siapa yang aku telah menjadi lawannya, kelak di hari kiamat akulah lawannya.''
Di bidang hukum orang-orang non-Islam sebagai golongan minoritas memiliki kedudukan hukum yang sama dengan umat Islam, tidak ada diskriminasi, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Mereka bagian dari penduduk sipil, tidak boleh diganggu dan harus dilindungi.
Dalam hal kewajiban dan upaya mempertahankan masyarakat Madinah dari serangan pihak luar, golongan minoritas nonmuslim dibebani tugas yang sama, kecuali alasan tertentu mereka dibolehkan dengan syarat membayar pajak perlindungan. Demikian juga hak-hak mereka yang lain, seperti jiwa, harta, keluarga, fasilitas peribadatan dan jabatan keagamaan. Seperti pendeta dan rahib tetap dilindungi dan tidak boleh diambil alih atau diisi orang lain atau orang Islam.
Melalui Piagam Madinah ini kita mengetahui, bahwa telah hadir 14 abad yang lalu suatu masyarakat maju (civil society) atas dasar wawasan kebebasan beragama, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan antarsesama warga, yang terdiri atas berbagai suku, ras dan agama.
Dalam konteks kini, Piagam Madinah dapat kita aktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita, Indonesia. Piagam Madinah menjadi sangat penting artinya untuk dipahami sehubungan dengan munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama dan ras yang tidak kunjung usai hingga saat ini.
Bercermin dari Piagam Madinah dan konsep Islam dalam bertoleransi, hendaknya setiap dari kita harus menyadari, bahwa Islam memerintahkan kepada umatnya untuk saling tenggang rasa dan toleransi dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Allah Swt sengaja menciptakan manusia berbilang bangsa dan suku hanya untuk menguji, mampukah manusia untuk hidup rukun dan damai penuh kasih sayang di dalam mencari kebenaran di sisinya.
Akhir-akhir ini, kebanggaan toleransi yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia telah luluh lantak oleh sederetan kekerasan, yang diakui atau tidak, sangat kental beraroma agama. Bagaimana tidak, pada tataran realitas, para pelaku tindak kekerasan yang sekaligus penganut agama kerap membakar tempat-tempat ibadah, seperti mesjid dan gereja. Ribuan nyawa telah melayang akibat konflik-konflik agama semacam ini.
Karena itu, perlu ada kemauan dan kebulatan tekad bersama untuk menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan dan krisis multidimensial, akibat pemahaman agama yang minim. Bukan hanya dari kita sebagai warga muslim, tetapi juga dari mereka kalangan non-muslim. Sebab jika hanya di mulai dari satu sisi, bagai orang bertepuk sebelah tangan. Semua pihak hendaknya mau menyadari dan urun rembuk demi masalah yang lebih besar dan asasi.
Diposkan oleh Marhadi Muhayar, Lc., M.A. (Silahkan menukil dengan menyebut sumbernya)
Senin, 23 November 2009
Pendet dan Reog Ramaikan HUT Sumpah Pemuda
ANTARA News. Rabu, 28 Oktober 2009 22:20 WIB | Hiburan | Seni/Teater/Budaya |
Balikpapan (ANTARA News) - Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Sumpah Pemuda ke-81 di halaman Gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Balikpapan, Rabu diramaikan dengan atraksi tari pendet dari Bali dan reog Ponorogo.
"Tari pendet dan reog Ponorogo ini kita tampilkan untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan memiliki akan budaya sendiri," kata Ketua KNPI Kota Balikpapan, Kaltim, Muhaimin di Balikpapan, seusai upacara HUT Sumpah Pemuda ke-81.
Pada upacara tersebut dihadiri beberapa pejabat Muspida Kota Balikpapan diantaranya Wakil Walikota Balikpapan, Rizal Effendi, Kapolresta Balikpapan AKBP Suwono Rubianto, Komandan Lapangan TNI Angkatan Udara Letkol (P) Pandu Purnama, Komandan Lapangan TNI Angkatan Laut Letkol Laut Ertarto dan Dandim 0905/Balikpapan, Letkol (Inf) Rifki.
"Hal tersebut untuk membangkitkan rasa memiliki akan budaya bangsa kita yang diklaim oleh pihak luar," kata Muhaimin.
Menurutnya, tujuan utama dari perayaan hari Sumpah Pemuda ke-28 adalah membangkitkan rasa satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.
"Saat ini yang menjadi keprihatinan kita adalah kurangnya rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan di kalangan generasi muda," jelasnya.
Termasuk pula terhadap pemahaman-pemahaman tentang khazanah budaya daerah di tanah air, yang dinilai oleh Ketua KNPI di kalangan muda sangat kurang.
"Maka pada HUT Sumpah Pemuda ke-81, kita juga melakukan parade busana adat daerah dari 33 provinsi di Indonesia", kata Muhaimin. menambahkan.
Diharapkan, dengan adanya persembahan tarian dan busana adat daerah, dapat mengugah semangat para generasi muda bahwa budaya yang dimiliki dapat terpelihara dan dijaga, agar tidak lagi diklaim oleh pihak luar.
Budaya yang dimiliki tiap daerah agar tidak luntur atau hilang, maka diharapkan adanya respon dari para generasi muda sebagai penerus agar memelihara demi kelestarian budaya, tambahnya.
Sementara itu, Wakil Walikota Balikpapan, Rizal Effendi menambahkan bahwa perayaan kali ini sangat baik, dan penampilan seni budaya untuk membangkitkan semangat nasionalisme.
"Namun kita mengharapkan kualitas pemuda harus ditinkatkan baik di bidang olahraga, pendidikan maupun kepemimpinan," ujar Rizal.(*)
"Tari pendet dan reog Ponorogo ini kita tampilkan untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan memiliki akan budaya sendiri," kata Ketua KNPI Kota Balikpapan, Kaltim, Muhaimin di Balikpapan, seusai upacara HUT Sumpah Pemuda ke-81.
Pada upacara tersebut dihadiri beberapa pejabat Muspida Kota Balikpapan diantaranya Wakil Walikota Balikpapan, Rizal Effendi, Kapolresta Balikpapan AKBP Suwono Rubianto, Komandan Lapangan TNI Angkatan Udara Letkol (P) Pandu Purnama, Komandan Lapangan TNI Angkatan Laut Letkol Laut Ertarto dan Dandim 0905/Balikpapan, Letkol (Inf) Rifki.
"Hal tersebut untuk membangkitkan rasa memiliki akan budaya bangsa kita yang diklaim oleh pihak luar," kata Muhaimin.
Menurutnya, tujuan utama dari perayaan hari Sumpah Pemuda ke-28 adalah membangkitkan rasa satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.
"Saat ini yang menjadi keprihatinan kita adalah kurangnya rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan di kalangan generasi muda," jelasnya.
Termasuk pula terhadap pemahaman-pemahaman tentang khazanah budaya daerah di tanah air, yang dinilai oleh Ketua KNPI di kalangan muda sangat kurang.
"Maka pada HUT Sumpah Pemuda ke-81, kita juga melakukan parade busana adat daerah dari 33 provinsi di Indonesia", kata Muhaimin. menambahkan.
Diharapkan, dengan adanya persembahan tarian dan busana adat daerah, dapat mengugah semangat para generasi muda bahwa budaya yang dimiliki dapat terpelihara dan dijaga, agar tidak lagi diklaim oleh pihak luar.
Budaya yang dimiliki tiap daerah agar tidak luntur atau hilang, maka diharapkan adanya respon dari para generasi muda sebagai penerus agar memelihara demi kelestarian budaya, tambahnya.
Sementara itu, Wakil Walikota Balikpapan, Rizal Effendi menambahkan bahwa perayaan kali ini sangat baik, dan penampilan seni budaya untuk membangkitkan semangat nasionalisme.
"Namun kita mengharapkan kualitas pemuda harus ditinkatkan baik di bidang olahraga, pendidikan maupun kepemimpinan," ujar Rizal.(*)
Selasa, 29 September 2009
Sabtu, 22 Agustus 2009
Forum Pemuda Bantah Foto SBY dari Kaltim
Kamis, 23 Juli 2009, 00:20:15 WIB
rakyatmerdeka.co.id
Dalam pertemuan yang digelar di Graha Pemuda, Balikpapan itu, para pemuda itu juga sepakat menolak semua klaim soal Kalimantan adalah sarang teroris.
"Kami segenap ormas dan pemuda Balikpapan dan Kaltim harus menyikapi kejadian pengeboman yang menewaskan 9 orang dan 53 luka-luka. Kami sepakat mengutuk keras aksi bom bunuh diri tersebut. Mengenai foto-foto latihan teroris yang menembak foto presiden SBY, kami tidak yakin berasal dari Kaltim," kata Ketua Forum Bersama Laskar Merah Putih M Arsyad Cannu Arsyad Cannu seperti dilansir JPNN, Rabu (22/7).
Dalam pertemuan itu ada Ketua DPD KNPI Balikpapan Muhaimin MT, Ketua Forum Bersama Laskar Merah Putih M Arsyad Cannu, Ketua GP Anshor Balikpapan M Rafi’I, pengurus Solidaritas Dayak Bersatu Gabriel, unsur pemuda calon DPRD Balikpapan terpilih Andi Welli, pengurus Gerakan Pemuda Asli Kalimantan (Gepak) Fahmi, Ketua Kerukunan Pelajar Mahasiswa Kalimantan Timur (KPMKT) Cabang Balikpapan M Hasbi, Ketua Koti PP Balikpapan Songkal Nababan dan pengurus Laskar Antasari Ari Fadilah. [hta]
Minimal Tender Elektronik Diturunkan
Sabtu, 22 Agustus 2009 , 15:10:00
Pos Metrobalikpapan.online
Pos Metrobalikpapan.online
BALIKPAPAN - Pemkot Balikpapan akan menurunkan batas minimal tender elektronik. Itu dilakukan mulai tahun depan. Maksudnya, agar semua tender bisa lebih mudah diakses warga. Hal itu diungkapkan oleh Kabag Pembangunan Pemkot Muhaimin kepada Post Metro pada Jumat (21/8) di balaikota.
Muhaimin menuturkan, sebelumnya tender di atas Rp 600 juta dilakukan secara manual. Artinya, hanya yang Rp 600 juta ke atas yang menggunakan system tender elektronik atau juga disebut e-procurement. Sedangkan yang Rp 600 juta ke bawah menggunakan system manual.
Nah, untuk tahun depan, batas minimalnya akan diturunkan menjadi Rp 100 juta. Tentunya, jika batas minimalnya diturunkan, akan semakin banyak tender yang masuk ke system elektronik dan mudah diakses oleh warga.
“Jadi nantinya akan semakin banyak tender yang dilakukan secara elektronik,” kata Muhaimin.
Untuk itu, kata dia, pihaknya semakin meningkatkan kemampuan petugas dan perangkat yang ada. Karena, dengan adanya penurunan batas minimal, otomatis jumlah proyek yang dilelang dengan cara elektronik akan semakin banyak.
Muhaimin menambahkan, hingga saat ini ada 436 paket proyek yang sudah dilelang, dari total 455 paket. Ada 19 paket yang tertunda prosesnya. Perubahan itu terjadi karena adanya perubahan struktur organisasi di lingkungan Pemkot Balikpapan. Hal itu menyebabkan terjadinya perubahan pada mekanisme APBD tahun ini.
Misalnya, perubahan Kantor Pariwisata yang menjadi Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (Dispordubpar), dan Kantor Pemadam Kebakaran (KPK) yang berganti menjadi Badan Penanggulangan Bencana dan Kebakaran (BPBK).
“Ya, perubahan-perubahan itu sedikit banyak menghambat proyek yang akan berjalan,” tuturnya. “Tetapi, belasan proyek tertunda akan dimasukan alokasi anggaran perubahan tahun ini,” tambahnya.
Lebih jauh Muhaimin menuturkan, saat ini realisasi proyek secara fisik sudah menyentuh angka 43,19 persen atau Rp 126 miliar. Dalam waktu dekat ini, kata Muhaimin, akan ada beberapa proyek yang mulai dikerjakan. (mgg-1)
Kamis, 23 Juli 2009
Penyerapan APBD 2008 Tak Maksimal Hanya 60,4 Persen, Ada SKPD yang Menyerap 28 Persen
Kaltimpost online, Rabu, 08 April 2009 , 10:06:00
BALIKPAPAN – Penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Balikpapan tahun 2008 tak maksimal. Dari total APBD Balikpapan sebesar Rp 1,3 triliun hanya mampu terserap 60,4 persen, atau senilai Rp 962.072.315.432 miliar.
Kemudian, dari 59 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkot tak semuanya mampu menyerap anggaran sampai 100 persen. Penyerapan paling rendah oleh salah satu SKPD tercatat hanya mencapai 28 persen.
Kepala Bagian (Kabag) Keuangan Pemkot Darmansyah yang dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. “Penyerapannya memang segitu. Tapi, lebih jelasnya, Mas ke Bagian Pembanguan. Temui Pak Muhaimin (Kabag Pembangunan, Red),” ujarnya, kemarin.
Sementara, Kabag Pembangunan Muhaimin juga membenarkan APBD 2008 lalu tak sepenuhnya terserap. Melainkan hanya 60,4 persen saja. “Tapi itu keuangannya lho ya. Kalau proyek fisik pencapaiannya 81,44 persen,” tegasnya.
Dijelaskan, tahun lalu, banyak SKPD yang tak sempat menagih keuangannya ke pemkot. Itu sebabnya, yang sempat terdata hanya sampai 60,4 persen.
“Begitu ceritanya. Jadi, sisa anggaran itu akhirnya masuk di anggaran 2009,” tutur Muhaimin. Ketika ditanya SKPD mana yang paling sedikit menyerap dana APBD itu, Muhaimin enggan menjawab.
“Maaf Mas, soal itu saya tak bisa beri tahu,” kata dia. Muhaimin enggan memberi data, lantaran merasa tak enak dengan SKPD. Apalagi kata dia, ia baru satu minggu menjabat Kabag Pembangunan Setdakot Balikpapan. Sebelumnya, pada Musrenbang-RKPD 2010 di Kantor Wali Kota Balikpapan 31 Maret lalu, Ketua DPRD Balikpapan Andi Burhanuddin Solong meminta Wali Kota Balikpapan Imdaad Hamid melakukan restrukturisasi SKDP yang dinilai tidak mampu melaksanakan program. Hal itu diungkapkan Andi, lantaran kesal melihat Rp 1,3 triliun APBD Balikpapan pada 2008, hanya mampu terserap lebih kurang 65 persen. Bahkan, kata dia, kegiatan pada APBD 2009 belum ada yang berjalan.
"Kalau tidak mampu merealisasikan program, diganti saja. Kalau tidak, bagaimana ke depannya nanti," kata Andi saat itu. Sementara, dari informasi di pemkot, APBD 2009 sampai dengan akhir Maret baru terserap 6 persen atau senilai Rp 120 miliar. Itu pun, baru sebatas membayar gaji pegawai. (qq)
Langganan:
Postingan (Atom)